Senja yang Hilang

“Please,” pintamu penuh harap di ponsel.

Kata-kata terakhir itu masih jelas terngiang di telinga saat kututup ponsel tanpa salam perpisahan sedikitpun. Sejak itu, tak pernah kuangkat setiap panggilan masuk darimu. Tahukah kau, kusudahi semuanya detik itu juga. Tak ada basa-basi lagi dalam kamusku, karena aku benar-benar merasa cukup mendengar suaramu yang teramat lekat dan akrab itu. Aku hapal betul bagaimana bentuk dan nadanya tanpa mesti mendengar. Pelan dan lembut
.
Ah, tapi ternyata kamu masih cukup beruntung hari ini. Pertanyaan batinmu yang begitu deras dan menggebu membuat batinku tergerak untuk memberikan sedikit jawaban. Lagipula rasanya lebih fair menjawab dengan batin ketimbang harus berucap lewat bibir yang terkadang meluncurkan kata-kata tanpa kendali dan malah lebih sering bisa membuat keadaan tidak lebih baik.

“Jujur, semua ini kulakukan demi senjaku yang hilang. Karena aku ingin mengingatnya, memandanginya dan menemukannya kembali. Seperti dulu. Ya, aku merindukan senja yang selalu menenangkan itu. Senjaku yang indah harus kembali walau aku terpaksa membunuh cinta dan nafsu yang pernah begitu menggebu. Padamu,” jawabku lewat batin
.
Jelas sekali. Aku khilaf. Tenggelam dalam kealpaan. Aku melupakannya dengan tiba-tiba saat pertama menemukanmu. Ya, aku masih terkenang pertemuan pertama yang membutakan itu saat kau menyirapku dengan cinta. Sempat aku menyalahkanmu sesudahnya. Menudingmu tajam. Kau telah membuatku meninggalkan bagian diriku itu tanpa pesan. Meninggalkan senjaku tanpa kabar berita.
.
Itu saja. Cukup jawaban itu saja yang bisa kau terima. Kau tak akan mendapat lebih karena bibir batinku sudah enggan bicara lagi.
.
Perlahan-lahan bayangmu hilang bak rembulan tersaput awan. Aku masih mencintaimu tapi aku kepalang harus menjauh lantaran senja itu. Lagipula ada kalanya jauh membuat segalanya begitu mudah terlupakan. Jauh sanggup membuat sesuatu jadi lebih bermakna. Semua tahu itu.
Tahu-tahu pikiran itu membuatku spontan teringat lagi padamu. Aku justru jadi melamun, lantas menerka-nerka apakah kau mulai melupakanku juga di sana? Lagi-lagi tak sengaja kutelusuri kenangan itu yang membuat hatiku sejenak begitu pilu. Ternyata masih mengendap hal itu di sini. Tersimpan rapi. Sulit terhapus. Kita sudah terlanjur saling mengenal.
.
Kamu tahu itu bukan? Dalam tempaan waktu dan perjalanan itu, kau pun pasti sangat mengenalku seperti halnya aku memahamimu. Kau tahu aku membencimu karena cinta. Sementara aku pun tahu kau mencintaiku karena benci. Kita sama-sama tahu perbedaan itu yang berhasil mempertahankan kita sampai sejauh ini. Melengkapi kekosongan yang ada. Menyempurnakannya. Kita selalu tahu bahwa positif selalu menarik negatif. Juga hitam selalu padu padan dengan putih.

Ah, jika ingat perbedaan kita, aku juga jadi ingat kalau kau kerap bilang padaku bahwa hidup selalu memperkenalkan kita pada kenyataan, kebetulan-kebetulan dan perubahan. Sementara di sisi lain, aku juga kerap bilang padamu bahwa kenyataan itu tak selalu sejalan dengan impian. aku sering bilang hidup tak mulus.
.::.

No comments: