Bulan Sabit yang Condong ke Barat (Chapter 1)

Bulan sabit condong kebarat, sementara bintang timur dengan angkuhnya di langit timur. Sebuah pemandangan yang biasa terjadi di kala petang, saat bulan muda menurut hitungan kelender lunar.
Dalam kesendirian, maka suasana itu menjadi sangat indah, ketika aku duduk di kursi bamboo, beranda depan rumah sambil menikmati kopi panas dari mug hitam Bill Kovach kesayangan.
Dalam kesendirian seperti ini, angin begitu nyata terdengar, burung2 malam yang mulai memperdengarkan nyanyiannya. Sebuah harmoni alam yang menyajikan kedamian.

Dan, disini aku adalah manusia biasa yang jauh dari rasa tenang, sebuah manusia yang tidak menghadirkan kesempurnaan, yang masih terikat pada rasa cinta dan benci. Dan surat itu, surat tentang rasa kangen darimu… yang menjadikan mata ini tak pernah lelah menatap masa depan, yang menjadikan telinga ini senantiasa berdenging suaramu, yang menjadikan kaki dan tangan tak sanggup untuk berpindah, sebelum kalimat per kalimat terbaca dengan baik, sebelum kata demi kata terpahami dengan sempurna, sebelum huruf demi huruf tercetak lekat diotakku. Surat itu …

Sementara, ingatanku kembali ke masa kecil, ketika aku memecahkan cermin milik eyang buyutku, dan dengan senyum yang khas, Eyang Buyut yang telah berusia lebih dari 100 tahun itu, menyampaikan kata yang tak pernah hilang dari otakku. “Nak, jangan pernah remehkan cermin, karena itulah yang akan menjadikan kita tahu siapa kita.” Pecahan cermin itu kemudian aku ambil dan tersimpan di dalam lemariku hingga sekarang, ini lebih dari sekedar cermin, karena arti dari setiap kepingnya telah tercetak diingatan.

Cermin, dari sana aku tahu persis bahwa aku bukanlah seseorang yang sempurna, aku bukanlah seorang Pangeran yang dapat leluasa mengajak setiap gadis masuk dalam istanaku, aku bukanlah seorang Begawan dan Resi suci yang padanya orang bersandar tentang etika-etika kebajikan, aku bukanlah seorang cerdik pandai yang padanya orang bertanya tentang segala hal untuk menjadikan dunia ini lebih dinamis. Cermin itu hanya memberikan gambaran bahwa aku bukanlah siapa2, dan, sebagai manusia yang masih dalam keserakahan dan kebencian, kadang aku juga bertanya, kenapa aku tak punya istana yang gemerlap, atau kebijakan yang luas, atau samudera ilmu yang dalam. Namun cermin itu menjawab, “kamu punya hati dan rasa, cita2 yang dapat kamu wujudkan. Rasa yang kamu milikilah yang akan menjadikan kamu dalam kedamaian atau tidak, berharga atau tidak”
.
bersambung .................................
.
.::. * tulisan ini diambil dari email yang dikirimkan oleh lelaki itu

No comments: